Kamis, 24 Juli 2008

Kisah dua Perajin

Disebuah negeri hiduplah dua orang perajin yang tinggal bersebelahan.Mereka adalah perajin emas dan kuningan. Keduanya telah lama menjalani pekejaan itu,sebab itu pekerjaan yang diwariskan secara turun temurun.Telah banyak pula barang yang telah dihasilkan: cincin,kalung, gelang, dan untaian rantai penghias.
Setiap akhir bulan mereka membawa hasil kerja itu ke kota. Hari pasar, demikian mereka menyebut hari itu. Mereka akan menjual barang-barang logam itu dan membeli keperluan selama sebulan. Beruntunglah pekan depan akan ada tetemu agung datang mengujungi kota dan bermaksud memborong barang-barang yang ada di sana. Kabar ini tentu membuat mereka senang. Tentu , berita itu mendorong para pedagang agar membuat lebih banyak barang untuk dijadikan. Tak terkecuali dua orang perajin yang menjadi tokoh kita ini.
Siang-malam terdengar suara logam ditempa. Tungku-tungku api tak pernah padam.Kayu bakar yang membara seakan semangat keduanya. Percik-percik api yang timbul tak perna di hiraukan mereka. Keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing . Sudah puluhan cincin, kalung dan untian rantai penghias yang dihasilkan .Hari pasar makin dekat .Dan ,lusa adalah waktu yang tepat untuk berangkat ke kota.
Hari pasar telah tiba dan keduanya pun sampei di kota . Hamparan terpal telah digelar , tanda barang dagangan siap dijajakan. Keduanya pun berjejer berdampingan . Tampaklah barang-barang logam yang telah dihasilkan . Namun, ah sayang , ada kontras di antara keduanya. Walaupun terbuat dari logam mulia’ barang-barang yang dibuat oleh pengerajin emas tampak kusam. Warnanya tak berkilau. Seakan pembuatnya adalah seorang yang tergesa-gesa.
“ Ah, biar saja,” demikian ucapan yang terlontar saat pengrajin kuningan menanyakan kenapa perhiasannya kawanya itu tampak kusam. “ Setiap orang akan memilih daganganku, sebab emas selalu lebih baik dari kuningan,” ujar pengrajin emas lagi. “ Apalah artinya logam buatanmua dibanding logam mulia yang kupunya. Aku akan membawa uang lebih banyak darimu”
Pengrajin kuningan hanya tersenyaum. Ketekunannya mengasah logam membuat semua hasil karyanya lebih bersinar. Ulir-ulirnya halus. Lekuk-lekuk cincin dan gelang buatannya terlihat seperti lingkaran yang tak putus. Liku-liku rantai penghiasnya pun lebih sedab dipandang mata.
Ketekunan memang mahal. Hampir semua orang yang lewat tak menaruh perhatian kepada pengrajin emas. Mereka lebih suka mendatangi cincin dan kalung kuningan. Begitupun tetamu agung yang berkenan datang. Mereka pun lebih menyukai benda-benda kuningan itu dibandingkan dengan logam mulia. Sebab, emas itu tidaklah cukup mereka tetarik dan mau membelinya. Sekali lagi, tertampang kekontrasan di hari pasar itu. Perajin emas tertegun diam dan perajin kuningan tersenyum senang.
Hari pasar usai. Para tetamu telah kembali pulang. Kedua perajin itu pun telah selesai membereskan dagangan. Dan, keduanya mendapat pelajaran dari apa yang telah mereka lakukan hari itu.

*****************

Teman, ketekunan memang mahal. Tak banyak orang yang bisa menjalaninya. Begitupun kemuliaan dan harga diri. Tak banyak orang menyadari bahwa kedua hal itu tak berasal dari apa yang kita sandang hari ini. Setidaknya tindak-laku kedua perajin di atas adalah potongan siluet kehidupan kita.
Ketekunan adalah titian panjang yang licin berliku. Seringkali jalan panjang itu membuat kita terpelincir dan jatuh. Sering pula titian itu menjadi saringan penentu bagi setiap orang yang hendak menuju kebahagiaan di ujung simpulnya. Namun percayalah, ada balasan bagi ketekunan. Di ujung sana ada sesuatu yang menunggu setiap orang yang mau menekuni jalan itu. Emas dan kuningan tentu punya nilai yang berbeda. Tapi, apakah kemuliaan dinilai hanya dariapa disandang keduanya? Apakah harga diri hanya ditunjukkan dari simbol-simbol yang tampak di luar? Sebab, kita sama-sama belajar dari perajin kuningan bahwa loyang kadang bernilai lebih disbanding logam mulia. Dan juga bahwa kemuliaan adalah buah dari ketekunan. Bisa jadi saat ini kta pandai, kaya, punya kedudukan yang tinggi, dan cukup sempurna layaknya emas mulia. Namun, adakah semua itu berharga jka ulir-ulir hati kita kasar dan kusam? Adakah itu mulia jka lekuk-lekuk kalbu kita koyak dan penuh dengan tonjolan-tonjolan kedengkian? Adakah itu semua punya harga jka pokok-pokok simpul jiwa yang kita punya tak dipenuhi dengan simpul-simpul ikhlas dan perangai nan luhur?
Teman, mari kita asah kalbu dan hati kita agar bersinar mulia. Mari kita bentuk ulir dan lekuk- lekuk jiwa kita dengan ketekunan agar menampikan cahaya-Nya. Susunlah simpul-simpul itu dengan jalinan keluhuran budi dan perilaku. Tempalah dengan kesungguhan diri agar hati kita tak keras dan menjadi lembut, luwes, srta mampu memenuhi hati orang lain. Percayalah, ada imbalan untuk semua itu. Amin.

Tidak ada komentar: